HUKUM MENGKONSUMSI KOPI LUWAK
Ust. Muhammad Fikri Ali, M. Pd
Kemasyhuran kopi luwak sudah diketahui sejak lama. Namun kopi luwak ternyata dibuat dari biji kopi yang sebelumnya dimakan dan melewati saluran pencernaan luwak kemudian keluar melalui duburnya. Inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan terutama dari sisi hukum fikih. Untuk menjawab mengenai status hukum kopi luwak, maka ada baiknya kita melihat status hukum biji kopi luwak terlebih dahulu karena yang menjadi titik persoalannya adalah pada biji kopi luwaknya.
Perlu diketahui bahwa benda yang keluar dari qubul dan dubur terbagi menjadi 2 hukum, yaitu:
- NAJIS jika benda tersebut bersifat mulawis yaitu mengalami perubahan baik warna, bau maupun rasanya. Seperti kencing, tinja, madzi, dan lain-lain, kecuali mani. Hukum membersihkan benda mulawis ini (Istinja'/cebok) adalah WAJIB.
Imam Nawawi Rohimahullah menjelaskan bahwa binatang yang menelan biji kemudian bijinya keluar namun kekerasannya telah hilang sehingga sekiranya ditanam tidak akan tumbuh, maka dalam konteks ini biji tersebut statusnya adalah najis.
لِاَنَّهُ وَاِنْ صَارَ غِذَاءًا لَهَا فَمَا تَغَيَّرَ إِلَى الْفَسَادِ فَصَارَ كَمَا لَوِ ابْتَلَعَ نَوَاةً وَخَرَجَتْ فَاِنَّ بَاطِنِهَا طَاهِرٌ وَيَطْهُرُ قَشْرُهَا بِالْغَسْلِ وَاِنْ كَانَتْ صَلَابَتُهُ قَدْ زَالَتْ بِحَيْثُ لَوْ زُرِعَ لَمْ يَنْبُتْ فَهُوَ نَجِسٌ
Artinya, “Sebab, kendatipun biji tersebut adalah makanan binatang namun tidak menjadi rusak, karenanya menjadi seperti binatang yang menelan biji kemudian biji itu keluar (dari duburnya, penerjemah), maka bagian dalam biji tersebut adalah suci dan kulitnya menjadi suci dengan dicuci. Adapun jika kekerasan biji tersebut telah hilang, di mana sekiranya ditanam tidak akan tumbuh, maka biji tersebut adalah najis,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz II, halaman 591).
- MUTANAJIS, jika tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun baunya, maka cara membersihkan sebagaimana membersihkan benda yang terkena Najis.
Dalam pandangan para ulama dari kalangan Madzhab Syafi‘i, apabila ada binatang yang memakan biji kemudian biji itu keluar dari perutnya dalam keadaan utuh, maka dalam konteks ini perlu dilihat. Apabila kekerasan biji tersebut masih tetap terjaga sehingga sekiranya ditanam bisa tumbuh, maka status hukum biji tersebut adalah suci akan tetapi wajib dicuci bagian luarnya karena bersentuhan dengan najis.
قَالَ أَصْحَابُنَا رَحِمَهُمُ اللهِ إِذَا اَكَلَتِ الْبَهِيمَةُ حَبًّا وَخَرَجَ مِنْ بَطْنِهَا صَحِيحًا فَاِنْ كَانَتْ صَلَابَتُهُ بَاقِيَةً بِحَيْثُ لَوْ زُرِعَ نَبَتَ فَعَيْنُهُ طَاهِرَةٌ لَكِنْ يَجِبُ غَسْلُ ظَاهِرِهِ لِمُلَاقَاةِ النَّجَاسَةِ
Artinya, “Para sahabat kami rahimahumullah (para ulama dari kalangan Madzhab Syafi‘i) berpendapat bahwa apabila seekor binatang memakan biji kemudian biji tersebut keluar dari perutnya dalam keadaan masih utuh. Dalam konteks ini apabila kekerasannya masih tetap di mana sekiranya ditanam akan tumbuh, maka biji tersebut adalah suci, akan tetapi harus dicuci permukaan atau bagian luarnya karena bersentuhan dengan najis,” (Lihat Muhayiddin Syarf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Jeddah, Maktabah Al-Irsyad, juz II, halaman 591).
Jika pandangan yang dikemukakan Imam Nawawi ini kita tarik dalam konteks pertanyaan di atas, maka pandangan ini mengandaikan, bahwa biji kopi yang dimakan luwak kemudian keluar lagi melalui duburnya, dan sepanjang kekerasannya masih tetap dan bisa ditanam kembali, maka masuk kategori barang suci yang terkena najis (mutanajjis) di mana bagian luarnya terkena najis sehingga bisa disucikan dengan cara dicucinya, sedang bagian dalamnya tidak najis.
Argumentasi rasional yang dibangun untuk meneguhkan pandangan ini adalah bahwa meskipun biji adalah makanan bagi binatang, namun biji tersebut tidak mengalami kerusakan. Hal ini sama dengan binatang yang menelan biji kemudian bijinya keluar. Bagian dalam biji tersebut adalah suci, sedang kulitnya adalah najis dan bisa suci dengan dicuci.
Dengan demikian maka dapat di simpulkan bahwa KOPI LUWAK termasuk benda MUTANAJIS yang bisa kembali SUCI dengan cara dicuci sebagaimana mencuci benda yang terkena najis,sehingga hukum mengkonsumsi nya menjadi HALAL.